Selasa, 25 Desember 2018

Bubur tidak akan pernah menjadi nasi kembali.

Baca sampai akhir yah..

Bubur tidak akan pernah menjadi nasi kembali.

_*Didiklah Anak Sebagai ‘Budak’ Dari Sekarang Supaya Tidak Menjadi ‘Raja’*_

🥇Mendidik anak sebagai ‘budak’. Judulnya seperti bercanda, tapi itulah esensi mendidik anak-anak sekarang ini.

💝Mungkin tidak banyak yang setuju dengan fakta ini. Terutama orang tua yang melihat bahwa anak tersebut perlu diperlakukan dengan hati-hati.

🥈Anda pernah melihat kejadian dimana ibu sibuk bekerja di rumah, seperti mencuci, mengepel, memasak dan bahkan membereskan kamar anak.
Padahal, si ibu memiliki 2-3 anak gadis duduk di depan TV, atau bermain handphone atau laptop di depannya.
Nah .. ketika mereka diminta untuk membantu …. Terus mengeluh, tidak mau, malas dan beberapa yang alasan lainnya.
Ini lebih parah lagi, ada pula yang pergi.. merajuk dan cuek.. padahal hanya karena diminta untuk menutup kran air di dapur. Uhh ..
Kadang sampai berteriak pun mereka tidak peduli… hurmmm ..

Bahkan anak laki-laki pun, tidak mau melakukan pekerjaan yang dilakukan anak perempuan? Gak macho katanya .. perasaan terbebani seperti lengket di atas lem saja.. beugh….

🥉Budaya Anak Menjadi ‘Raja’ semakin meluas
Budaya anak menjadi raja semakin meluas sekarang ini.
Untuk alasan apa? Karena mereka belum merasakan dididik menjadi ‘budak’ sejak kecil.

🥇Banyak pasangan yang terlalu sayang kepada anak-anak. Keinginan anak-anak semua diikuti.


Mereka tidak diajarkan untuk memahami kesulitan dan kesulitan orang tua mereka.
Ya, orang tuanya kaya .. tapi ingin anak menjadi sukses.. tidak mudah.
Bila para orang tua diberi saran agar jangan manjakan anak Anda. Inilah jawaban mereka …

“Tidak apa-apa mereka masih anak-anak..”

“Jangan biarkan anak laki-laki mengerjakannya, seperti pelayan aja..”

Jika begiini alasannya, maka orang tua bersiaplah untuk menjadi “budak” bagi anak di masa tua?

Tidak hanya itu …
Ada anak yang sudah sampai menikah masih menyusahkan orang tua untuk membereskan barangnya.
Hal ini banyak terjadi, dan kita sendiri telah berkali-kali melihat dengan mata kepala sendiri.
Ini kenyataan.

Hal ini terjadi di dunia sekarang ini. Pakaian anak dan mantu masih ibu yang  mencuci.
Padahal usia lebih dari 30 tahun … mau makan pun ibu yang masak…

🥈Anak-anak yang tidak dididik dengan melakukan pekerjaan sejak kecil, mereka akan canggung melakukannya saat mereka telah dewasa.
Kalau sudah tejadi demikian, mereka melakukannya kurang tulus dan terpaksa saja. Mereka akan melakukannya hanya saat disuruh.
Kita tidak ingin orang tua menghukum anaknya.

👁
Orangtua harus sadar, mulai dari anak usia 2 tahun, mereka perlu dipelihara dan dididik menjadi ‘budak’. mengarahkan mereka melakukan sesuatu, kadang seperti memaksanya padahal semua itu buat kebaikan anak di masa depannya.

🔜Jangan terlalu lembut.
🔜Jangan terlalu kasihan kepada anak-anak
🔜Jangan terlalu manja
🔜Ajari mereka banyak kerja keras sejak kecil
🔜Ajari mereka tentang pekerjaan rumah
🔜Ajari mereka arti hidup. Memupuk kesadaran di dalamnya
🔜Ajari anak perempuan untuk bekerja membersihkan, memasak, mencuci rumah dan segala jenis pekerjaan rumah.
Ajari putri Anda tentang kebersihan, terutama kebersihan pribadi.
Anak laki-laki mulai terbiasa enteng tangan.
Ajarkan anak laki-laki juga untuk melakukan pekerjaan seperti berenang, memperbaiki pipa air, menebang pohon dan banyak lagi.
Jika memungkinkan, ajarkan juga apa yang cewek suka memasak. Tidak ada salahnya, tapi itu akan menjadi bonus sebagai orang dewasa.

💝Anak Kita, Belajar dari Kita.

💝Ajarkan dan didik mereka dengan cinta tapi perlu tegas dan pastikan mereka mengikuti instruksinya.

💝Biarkan dididik sebagai Budak, jangan sampai bila mereka besar menjadi raja. Dan yang paling ditakuti, berubah menjadi anak durhaka, yang dibenci Allah

Semoga Bermanfaat 🤝🏻

Sabtu, 08 Desember 2018

Mendidik Anak anak kita seperti bercermin di kaca



KARENA MEREKA ADALAH KITA

Oleh : Ustadzah Poppy

***

Pernahkah kita luangkan waktu bersama pasangan kita hanya untuk memperhatikan tingkah laku anak-anak kita?

Bukan, bukan untuk mencari kesalahan mereka. Pun bukan untuk menemukan kehebatan mereka. Hanya memperhatikan detail tingkah laku mereka.

Lihatlah senyum mereka, senyum siapakah itu? Senyum ayah? Atau senyum bunda? Lihatlah cara mereka bicara, mirip siapa?

Lihatlah cara mereka mengerutkan dahi ketika berpikir? Seperti siapa? Lihatlah cara mereka berjalan, adakah itu cara berjalan kita?

Lihatlah cara mereka menggerakkan kepalanya ketika menengok, cara siapa? Lihatlah cara mereka tertawa, mirip siapa? Bahkan lihatlah ketika mereka marah, marah siapa yang ditiru mereka?

Ah, ternyata mereka itu kita.

Maka pantaskah kita kemudian mendidik mereka tanpa memulai perubahan dari diri kita sendiri lebih dahulu?

Simaklah ayat berikut ini:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Al Furqon: 74)

Ustadz Budi Ashari, Lc dalam bukunya, Inspirasi dari Rumah Cahaya menjelaskan tadabur ayat ini sebagai bekal bagi visi keluarga kita. Mendahulukan pasangan kemudian baru melanjutkannya dengan menyebutkan keturunan.

Setiap kita berharap besar untuk melahirkan keturunan yang menyejukkan pandangan mata. Dan itu baru akan terjadi saat telah terajut dengan baik pasangan yang menyejukkan mata.

Akan sangat sulit melahirkan keturunan istimewa saat carut marut rajutan antar pasangan terjadi. Justru kegundahan demi kegundahan melahirkan awan hitam yang bergelayut di langit rumah tangga.

Bagaimana menghasilkan anak yang tersenyum, bila orang tuanya tak pernah menyontohkan bagaimana itu tersenyum?

Bagaimana menghasilkan anak yang pemaaf, bila orang tua nya pendendam dan sulit memaafkan?

Bagaimana menghasilkan anak yang taat beribadah, ketika orang tuanya tak menunjukkan ketaatannya kepada Rabb-nya dalam kesehariannya?

Bagaimana bisa kita hanya sibuk memikirkan hukuman bagi mereka, sementara kita tak sibuk bermuhasabah diri.

Bagaimana kita terus memerintah mereka melakukan ini dan itu, sementara kita hanya duduk manis ingin menikmati hasil dari mereka.
Bagaimana kita ingin mereka menyesal ketika melakukan kesalahan, ketika kita bahkan tak pernah meminta maaf ketika melakukan kesalahan kepada mereka.

Karena mereka adalah kita.

Sering kita tidak sadar sedang digiring oleh syaithan untuk membuang agama kita dalam mendidik anak-anak kita.

Kita disibukkan dengan sekadar memikirkan program-program pendidikan bagi anak-anak kita tanpa membuat program perubahan bagi diri sendiri.

Padahal bicara anak adalah bicara tentang orang tua.

Karena mereka adalah kita.

Betapa sering kita memarahi dan menghukum mereka di luar batas.
Tanpa menyadari bahwa kesalahan mereka sebenarnya adalah kesalahan kita.

Karena mereka adalah kita.

Minta maaflah…
Minta maaflah atas kesalahan dalam mendidik mereka.

Minta maaflah atas kekurangan kita dalam mencontohkan yang baik dari diri kita.
Minta maaflah atas keterlambatan kita dalam berilmu, hingga kita kibarkan bendera putih karena kini kita yang jauh di belakang mereka.

Mulia bagi orang tua yang mampu meminta maaf pada anak-anak mereka.
Bahkan juga mulia di hati anak-anak mereka.
Sungguh tak pernah hina orang yang meminta maaf.

Kini saatnya kita ber-azzam. Berniat dengan sungguh-sungguh.

Berubah, mendekatkan diri kepada Allah, menjadi manusia yang jauh lebih baik sesuai tuntunan agama kita.

Mengejar ketertinggalan kita, tak melulu  disibukkan dengan remeh temeh dunia lainnya.
Mendidik anak, adalah mendidik diri sendiri terlebih dahulu.

Karena mereka adalah kita.

*Terinspirasi dari kajian Petunjuk Islam dalam Mendidik Anak, Ustadz Budi Ashari, Lc.