Selasa, 16 Februari 2021

Kebudayaan Indonesia Sebagai Bagian dari Kebudayaan Global


Kebudayaan Indonesia Sebagai Bagian dari Kebudayaan Global

Thomas L. Friedman, dalam bukunya yang berjudul World is Plat yang menganalisis globalisasi pada awal abad ke-21 mengungkap perkembangan perdagangan Internasional dan internet telah jauh menggeser perekonomian dan kebudayaan dunia. India lahir sebagai kekuatan baru dengan perkembangan industri internet dan sumber daya manusianya yang mumpuni. Kemampuan generasi milenial India untuk memecahkan masalah millennium bug bagi dunia komputer internet, telah menghantarnya India pada perekonomian yang lebih maju. Industri perfilman India “Bollywood”, adalah satu jenis kebudayaan Indonesia yang berhasil diimpor ke seluruh dunia.

Selain India, China juga berkembang pesat sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terpesat di dunia. Kemampuan China untuk mengimitasi produk-produk dunia. Menempatkan China sebagai negara industri baru yang amat disegani. Majalah Forbes tahun 2019 merilis, China adalah negara penghasil orang kaya baru terbanyak di dunia.

Globalisasi tidak hanya menempatkan dunia pada satu pasar bebas, tapi juga transfer kebudayaan bergerak bebas seperti tanpa filter. Tidak tertutup kemungkinan dunia akan menjadi satu dalam satu kebudayaan yang disebut olah Jean Baudrillard, dengan nada yang pesimis sebagai budaya konsumen. Budaya yang telah diciptakan oleh globalisasi dan pasar bebas. budaya konsumen adalah jenis dari “budaya materi” (material culture). Hal ini berangkat dari watak universal manusia yang berusaha mencukupi kebutuhan materialnya. Dalam hal ini, sebagaimana diargumenkan konsumsi yang terjadi dalam semua masyarakat berada “ di luar perdagangan”  atau tidak terbatas pada perdagangan semata, tetapi selalu merupakan gejala budaya sebagaimana halnya sebuah gejala ekonomi.

Globalisasi membawa nilai-nilai baru bagi masyarakat dunia. Telah lahir cara pandang baru masyarakat untuk memberikan nilai atas segala hal. Nilai adalah esensi paling tinggi dari sebuah kebudayaan.

Budaya Post Modern

Jean Baudrillard, Sosiolog Prancis, menulis bahwa ada empat cara suatu benda mendapatkan nilai, pada masyarakat post modern.  

Keempat proses pembuatan nilai adalah:

  1. Nilai fungsional suatu objek; tujuan instrumentalnya (nilai pakai). Pena, misalnya, menulis; kulkas mendingin.
  2. Kedua adalah nilai tukar suatu objek; nilai ekonominya. Satu pena mungkin bernilai tiga pensil; dan satu lemari es mungkin sebanding dengan gaji yang diperoleh selama tiga bulan bekerja;
  3. Ketiga adalah nilai simbolis dari suatu objek; nilai yang diberikan subjek ke objek dalam kaitannya dengan subjek lain. Sebuah pena mungkin melambangkan hadiah kelulusan sekolah siswa atau hadiah pembicara permulaan; atau berlian dapat menjadi simbol cinta perkawinan yang diumumkan secara publik.
  4. Terakhir adalah nilai tanda suatu objek; nilainya dalam sistem objek. Pena tertentu dapat, meskipun tidak memiliki manfaat fungsional tambahan, menandakan prestise relatif terhadap pena lain; cincin berlian mungkin tidak memiliki fungsi sama sekali, tetapi dapat menyarankan nilai sosial tertentu, seperti rasa atau kelas.

Produk-produk kebudayaan tidak lagi memata dilihat dengan nilai fungsional, atau nilai tukarnya, tapi lebih kepada nilai simbolis dan nilai tanda. Banyak orang membeli smart phone Apple, banyak yang didasarkan atas nilai tandanya dari pada nilai fungsionalnya. Brand value, telah menjadi indikator penting bagi keberhasilan suatu usaha. Supermarket telah mengalahkan pasar-pasar tradisional bukan karena pelayanan dan harganya, tapi karena berbelanja di supermarket lebih bergengsi dari pada belanja di pasar tradisional.

Bagaimana dengan produk-produk kebudayaan Indonesia. Apakah produk-produk kebudayaan Indonesia dapat bersaing dengan produk global yang telah memiliki Brand value yang lebih tinggi. Apakah Warteg dapat bersaing dengan Mc Donald dan KFC? Pertanyaan ini mestinya tidak menjadi kerisauan yang berkelanjutan. Kreativitas yang tinggi dibutuhkan untuk Indonesia bisa bersaing dengan produk-produk global.

Dalam dunia post modern, revolusi 4.0, kebudayaan Indonesia mau tidak mau harus berhadapan secara vis to vis dengan budaya global. Jika kalah bersaing kebudayaan Indonesia dapat saja lenyap menyatu dalam budaya globalisasi yang oleh Antony Gidden, digambarkan sebagai truk besar yang bergerak turun tanpa kendali, menggerus apa saja yang ada hadapannya. Indonesia akan kehilangan seluruh identitas kebudayaan nasionalnya.

0 komentar:

Posting Komentar